Wawancara Kejujuran Bagi Calon Pustakawan, Haruskah?

Saat sudah lulus kuliah, sudah berapa kali Anda melamar kuliah? Kalau saya sudah puluhan kali, tak terhitung malah. Mulai dari lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, maupun lembaga swasta. Malahan, pernah saya memasukkan lamaran ke lembaga swasta dengan posisi book keeper. Sebuah posisi yang bahkan saya sendiri tidak tahu bidang pekerjaannya apa. Asalkan ada hubungannya dengan buku, pasti saya masukin lamaran. Tak sedikit yang kemudian lolos dan diundang untuk ikut tes wawancara. Meskipun tak sedikit juga yang tidak lolos dan tidak ada panggilan wawancara… hehehe….

Dari sekian banyak tes wawancara yang saya ikuti, ada satu tes wawancara yang sampai sekarang membekas di benak saya. Teringat bukan karena galaknya pun bukan karena cantiknya si interviewer (untuk yang terakhir, kebetulan memang sering yang mewawancarai saya cewek-cewek cantik, entah kebetulan atau memang kesengajaan…. 😀 ). Namun, lebih kepada satu pertanyaan yang ditanyakan kepada saya waktu itu.

Biasanya, intervewer akan bertanya pertanyaan standar, seperti pernah bekerja di mana, kenapa melamar di lembaga ini, apa yang Anda lakukan kalau diterima di sini, Anda bisa apa, atau bahkan ada yang bertanya minta gaji berapa kalau diterima di sini. Jarang ada yang bertanya Apa yang Anda lakukan jika diminta atasan untuk bertindak yang tidak sesuai dengan hati nurani Anda? Sebuah pertanyaan yang pernah saya dapatkan ketika melamar sebuah pekerjaan dengan posisi sebagai pustakawan di salah satu lembaga swasta.

Masih ingat betul ketika itu saya sempat bingung menjawabnya. Melihat gelagar saya, interviewer mencoba menjelaskan, “Atau gini, pernahkah Saudara berada dalam situasi yang mengharuskan Saudara bertindak tidak jujur?”.

“Pernah..” Jawab saya.

“Apa itu?”

“Saya pernah diminta melakukan sesuatu yang mengharuskan saya berbohong”

“Nah, coba ceritakan kepada saya apa yang saudara lakukan dengan permintaan itu?” pinta interviewer

“Saya tidak menolak, tapi tidak menerimanya.”

“Maksud saudara bagaimana dengan tidak menolak tapi tidak menerima?”

“Maksud saya begini,” jawab saya sambil membenahi posisi duduk, “Saya memberikan solusi bagaimana melaksanakannya tanpa melanggar norma-norma kejujuran. Dengan demikian, pekerjaan tersebut terlaksana tanpa membuat saya berbohong.” Lalu saya jelaskan bagaimana dan apa yang saya lakukan.

Mendengar jawaban saya, interviewer terlihat puas. Dan alhamdulillah beberapa waktu kemudian mendapatkan telefon bahwa saya dinyatakan lolos dan diterima bekerja di lembaga tersebut.

Saat ini memang banyak orang yang mempertanyakan kejujuran, tetapi tidak banyak yang berani menanyakannya. Saat proses wawancara kerja, hal yang biasa ditannyakan adalah apakah Anda bisa berbahasa Inggris, bisa software A, B, dan sebagainya. Jarang sekali menanyakan, apakah Anda bisa jujur dalam bekerja?

Padahal, jujur adalah modal utama untuk memberikan pelayanan yang sepenuhnya kepada pemustaka. Kejujuran akan mendorong seseorang untuk berlaku sesuai jalur. Kejujuran akan mendorong seseorang untuk selalu berfikir positif. Dan hanya dengan berlaku jujur, seseorang akan dapat bekerja tanpa beban, sehingga hasil yang dicapai dapat optimal.

Pertanyaannya kemudian, haruskah interviewer mempertanyakan aspek kejujuran kepada para calon pustakawan? Tentu saja jawabannya YA.

Sudah saatnya para interviewer tidak hanya menanyakan keahliannya saja. Aspek kejujuran menjadi hal terpenting yang perlu ditanamkan kepada seseorang yang akan bekerja di perpustakaan. Jika tidak, maka perpustakaan hanya akan menjadi tempat yang terabaikan. Pustakawan yang tidak mampu berlaku jujur, akan sulit untuk melayani pemustaka dengan sepenuh hati.

Karenanya, mari kita awali hari-hari di perpustakaan dengan KEJUJURAN!!

Tulisan ini ditujukan untuk Lomba Blog Contest SLIMS Commet 2014.

Tinggalkan komentar